Sebuah bahasan yang panjang untuk membuat sebuah kebijakan yang bernama moratorium dan REDD. Perjalanan panjang telah dilewati untuk menyusun skema terbaik dalam melestarikan hutan kita. Di setiap kebijakan dan pilihan yang dipilih, pasti akan ada dampak yang diberikan secara positif ataupun negatif walaupun itu hanya secara tersirat saja. Sebagai pihak akademisi di dunia kehutanan, alangkah sudah sewajarnya kita melek akan dunia kehutanan kita sekarang ini. Sudah sejauh apa keadaan hutan kita, sampai kapan akan terus seperti itu, dan banyak lagi yang masih bias dipertanyakan. Mari kita sedikit membahas dan mengulas keadaan zamrud khatulistiwa yang hamper menjadi kenangan, untuk diwariskan kepada anak cucu kita.
Kondisi Hutan. Deforestasi, yang terjadi terutama akibat konversi
hutan menjadi lahan pertanian kini terus berlanjut hingga mencapai tingkat mengkhawatirkan, yaitu sekitar 13 juta hektar per tahun berdasarkan datadari tahun 1990 – 2005. Deforestasi mengakibatkan lepasnya karbon yang awalnya tersimpan di dalampohon sebagai emisi karbondioksida. Hal ini berlangsung dengan cepat apabila pohon dibakardan berjalan lambat apabila kayu dan dedaunan mengalami pelapukan secara alami.
Berikut adalah sejumlah pemicu utama deforestasi:
· Pertanian berskala industry, semisal produksi kedelai dan kelapa sawit serta peternakan
· Pembalakan industrial yang dipicu oleh permintaan internasional terhadap kayu
· Tekanan kemiskinan dan populasi, saat penduduk mencari lahan garapan, bahan bakar kayu dan bahan bahanbangunan
· Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, pertambangan dan bendungan.
Setiap tahun, sekitar 1,7 juta ton karbon dilepaskan sebagai akibat dari perubahan pemanfaatan lahan,terutama dari deforestasi hutan tropis. Angka inimewakili sekitar 17% emisi global tahunan, lebihbesar daripada angka emisi yang ditimbulkan dari sektor transportasi dunia. Total wilayah hutan dunia adalah sekitar 4 milyar hektar, hampir 30% dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56% dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Sejumlah 1,2 milyar penduduk dunia diperkirakan menggantungkan penghidupan kepada hutan dan sekitar 2 milyar penduduk – sepertiga dari total populasi dunia – menggunakan bahan bakar biomasa, terutama kayu bakar untuk keperluan memasak dan menghangatkan rumah mereka.
Sumber: FAO, World Bank, IPCC
Dimulai dengan bahasan REDD. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) atau yang bias disingkat dengan sebutan REDD merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.
Lalu adakah tantangan dan hambatan dalam menjalankan perjanjian ini??. Banyak hal yang harus ditelisik lebih dalam oleh pemerintah kita supaya kesepakatan ini benar-benar bermanfaat untuk kita, bukannya kita yang dimanfaatkan mereka. Ini yang menjadi salah satu gosip yang sedang beredear sekarang di dunia rimbawan. Ternyata ada suatu yang terselubung dari Negara-negara lain untuk hutan kita. Setelah kita kaji dengan beberapa pemahaman dan pandangan dari berbagai aspek yang berkesinambungan, ada empat tantangan yang dapat diidentifikasi :
• Teknologi penghitungan karbonUntuk memberikan nilai bagi sebidang lahan berhutan yang berpotensi menyimpan karbon, kita harus dapat menghitung secara tepat berapa banyak jumlah karbon yang tersimpan. Teknologi baru seperti citra satelit dan pembuatan model komputer akan memudahkan penghitungan cadangan karbon secara tepat dan cepat. Sistem yang transparan untuk melakukan penghitungan dan verifikasi pengurangan emisi saat ini sudah banyak tersedia. Pertanyaannya, terjangkau dan ekonomiskah teknologi ini?
• Pembayaran
Bagaimana cara suatu negara dapat memperoleh pembayaran dan dalam bentuk apa pembayaran itu diberikan? Siapa yang nantinya akan menerima pembayaran untuk upaya melindungi kawasan hutan tertentu : Pemerintah nasional, masyarakat lokal sekitar hutan atau perusahaan kayu? Negara donor menghendaki agar pembayaran dapat bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu
• Akuntabilitas
Jika pembayaran REDD dilakukan, namun hutan tetap saja dirusak, apa yang akan terjadi? Akuntabilitas terkait dengan jaminan bahwa pembayaran karbon dapat mewujudkan perlindungan hutan berkelanjutan.
• Pendanaan
Kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana untuk memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu mencari sistem pasar yang paling sesuai.
Peneliti dan para pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negara-negara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda. Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi mereka masing-masing.
Penduduk asli dan masyarakat tradisional memainkan peran penting dalam proses
ini. Diperlukan upaya yang lebih banyak lagi untuk menjamin bahwa lahan dan hak mereka terhadap sumberdaya diakui. Pejabat pemerintah, perusahaan swasta atau elite lokal dapat tergoda untuk mengambil alih pembayaran jasa karbon melalui system penilaian hutan yang baru ini dari masyarakat lokal apabila hak kepemilikan lahan masyarakat asli tidak dijamin. Perancang REDD harus sepenuhnya memperhatikan hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang sah sebelum mengambil tindakan untuk mengurangi emisi karbon berbasis hutan. Imbal balik antara pengurangan emisi karbon dan pengentasan kemiskinan mungkin diperlukan. Hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan harus diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Tapi apakah yang terjadi di lapangan sebenarnya?. Apakah semua tujuan masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim dapat selaras dengan hak masyarakat lokal sekitar. Apakah sudah berjalan semestinya? Apakah REDD ini sudah memberi keuntungan bagi mereka dan Negara ini?. Kita coba telisik faktanya dari sample kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan REDD. Pada penelitian ini, daerah yang dipilih sebagai contoh rencana
demonstrasi REDD adalah areal yang sudah disosialisasikan dan di inisiasi Flora dan Fauna Indonesia (FFI) yang berada di propinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Penelitian dilakukan dengan pengambilan titik-titik kampung dan menghimpun informasi sebanyak mungkin dari masyarakat terkait sistem pengelolaan dan inisiatif-inisiatif yang sedang dan berkembang di masyarakat. Secara singkat akan dipaparkan disini tentang kondisi masyarakat di 2 kabupaten tersebut.
Kabupaten Ketapang
Di Kabupaten Ketapang, yang menjadi wilayah areal alokasi
REDD berada di sekitar 5 desa di 3 kecamatan, tetapi pengamatan lakukan hanya di 4 desa yaitu desa Tanjung Pura dan desa Tempurukan yang berada di wilayah administratif kecamatan Muara Pawan serta desa Sungai Puteri dan desa Tanjung Baik Budi yang
secara administratif berada di kecamatan Matan Hilir Utara. Lokasinya dekat dengan ibu kota kabupaten ketapang dengan jarak tempuh 20 s/d 30 Km dari kota ketapang. Pada umumnya, kehidupan disana sudah lebih modern karena berada dijalur akses antar kota.
Penduduk di dominasi oleh pendatang dan mayoritas melayu, sumber penghasilan penduduk dari pertanian dan sebagian kecil adalah nelayan. Masyarakat disana tidak mengenal kepemilikan komunal termasuk lahan, pada umumnya kepemilikan lahan sudah berstatus
kepemilikan pribadi bahkan sudah ada yang bersertifikat. Sistem pengelolaan lahan menurut
masyarakat, 3 km dariporos jalan kampung adalah yang dibagi masyarakat untuk lahan
pertanian dan 3 - 5 km dari batas pertanian adalah areal pencadangan pertanian
untuk masa depan, selebihnya adalah hutan negara tetapi bias sewaktu-waktu dikelola/ dimanfaatkan masyarakat dengan persetujuan pemda setempat. Beda dengan desa Sungai Putri, mereka memiliki pencadangan sejauh 8 km.
Pada saat ini, untuk menggerakkan perekonomian, masyarakat mengandalkan pertanian terutama tanaman Karet dan kelapa. Menurut masyarakat, mereka dulu adalah pekerja kayu karena lebih menguntungkan, berhubung persediaan kayu sudah semakin habis akhirnya tidak punya pilihan untuk kembali mengembangkan pertanian dan
sebagian kecil menjadi nelayan. Desa Tempurukan, Sungai Putri dan Tanjung Baik Budi sudah lebih maju dibandingkan dengan Desa Tanjung Pura walaupun menjadi salah satu
desa tertua di wilayah tersebut
Kabupaten Kapuas Hulu Wilayah alokasi rencana demonstrasi REDD di kabupaten Kapuas Hulu berada disekitar Danau Sentarum bagian Timur dan bagian Barat. Studi yang dilakukan difokuskan di wilayah barat danau sentarum yang terdiri dari 4 desa yaitu, desa Bajauandai secara administratif berada di kecamatan Empanang dan desa Janting, Pulaumajang, serta desa Seriang secara administratif berada di kecamatan Badau. Akses untuk mencapai desa-desa tersebut bias lewat jalan darat dan aliran sungai, jalan darat bisa ditempuh lewat Ibu kota kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau) yang kemudian
dilanjutkan dengan naik bis ke ibu kota kecamatan Badau. Sedangkan jalur sungai bisa
ditembuh dengan naik bis/travel Pontianak – Suhaid yang kemudian dilanjutkan dengan naik speedboat menelusuri sungai dan danau sentarum. sesuai persediaan bahanbakar. Sumber pencaharian masyarakat pada umumnya adalah pertanian, terutama tengkawang dan karet tetapi ada juga yang menjadi nelayan seperti di desa Pulaumajang sebagian
masyarakatnya adalah nelayan di sekitar danau Sentarum dan aliran sungai Kapuas. Desa Bajauandai, Seriang, dan Janting masyarakatnya mayoritas suku dayak terutama dayak Iban kecuali Pulaumajang yang penduduknya mayoritas melayu.
Analisis Tumpang Tindih
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Studi tataguna hutan dan lahan pada Kabupaten Ketapang tentang
penggunaan ruang dan permasalahan-permasalahan yang ada dilapangan. Studi ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kondisi penggunaan kawasan dengan
pengalokasian lokasi REDD yang ternyata sebagian berada pada kawasan yang sudah terbebani Hak seperti:konsesi Perkebunan, dan kosesi HPH. Kondisi terkini yang terpantau
dilapangan menunjukan bahwa terdapat tumpang tindih penggunaan kawasan yang
seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum diberikannya perijinan baru dalam bentuk
apapun. Selain hal tersebut, pengakuan terhadap kawasan masyarakat adat juga seharusnya
dipertimbangkan sebelum dilakukannya deliniasi kawasan untuk kepentingan tataguna lahan.
Hasil analisis overlay dari ijin konsensi yang ada, baik yang aktif maupun yang sudah tidak aktif menunjukan bahwa pada kawasan yang akan di peruntukan sebagai areal REDD, ternyata overlap dengan konsesi-konsensi yang telah ada sebelumnya seperti konsesi sawit dan konsesi HPH. Dalam table dibawah ini, konsesi HPH tidak ditampilkan karena menurut
masyarakat, sejak tahun 2000-an perusahaan HPH diareal mereka sudah tidak beroperasi lagi.
Selain tumpang tindih dengan kawasan perkebuan sawit, sebagian kawasan REDD juga tumpang tindih dengan kawasan adat desa Bajauandai, hasil pemetaan partisipatif awal dengan menggunakan GPS seluas : 2107,2 Hektare. Untuk kawasan masyarakat adat lain belum terpetakan dalam penelitian ini, dikarenakan keterbatasan waktu dan sumber daya. Desa Bajauandai adalah satu-satunya desa yang menolak kehadiran perkebunan sawit di daerah tersebut, desa-desa disebelahnya sudah menandatangani kontrak peminjaman lahan dengan pihak perusahaan.
Inilah fakta yang terjadi saat ini. Persepsi umum tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) – sebuah istilah yang pengucapannya saja sudah sulit – hanya sebagai salah satu dari banyak program PBB yang saat ini telah dilaksanakan di negara-negara lain.
Menurut situs PBB, program REDD adalah “upaya untuk menciptakan insentif bagi negara-negara yang masih memiliki wilayah hutan yang baik, untuk melindungi, mengatur dengan baik, dan menggunakan dengan bijak sumber daya hutannya, yang pada akhirnya ikut berkontribusi terhadap upaya global penanggulangan perubahan iklim.”
Inisiatif ini berupaya untuk menciptakan nilai finansial bagi karbon yang tersimpan pada hutan yang masih ada. Untuk jangka panjangnya, pembayaran bagi pengurangan dan penyerapan emisi yang telah diverifikasi, akan memberikan insentif kepada negara-negara REDD untuk dapat berinvestasi lebih jauh kepada pembangunan yang rendah karbon, sehat, dan hijau di kemudian hari.
Dengan kata lain, REDD adalah sebuah sistem yang membuat negara-negara “kaya” mengimbangi emisi karbonnya dengan membayar kepada negara-negara ”miskin” untuk menjaga hutan mereka, karena hutan menyimpan sejumlah besar karbon di dalam pohon-pohon dan tanahnya. Apakah ini sudah berjalan sesuai dengan prosedurnya. Apakah harus mengorbankan tumpang tindih lahan dengan HPH dan perkebunan. Apakah harus mengorbankan yang menjadi krisis saat ini, lahan pangan contohnya. Akankah hutan-hutan Indonesia benar-benar dihargai, atau hanya permainan belaka supaya industri kehutanan Negara kita mati langkah, dan industri Negara maju semakin besar langkahnya. Sebagai mahasiswa, yang bernotabene sebagai garda perjuangan terdepan di elemen rakyat, mari kita bergerak! Cari tahu kebenaran demi sebuah kesejahteraan.