Selasa, 13 September 2011

Berkontribusi untuk siapa REDD ini??? Kita “Indonesia” atau mereka "Negara Maju"..


        Sebuah bahasan yang panjang untuk membuat sebuah kebijakan yang bernama moratorium dan REDD. Perjalanan panjang telah dilewati untuk menyusun skema terbaik dalam melestarikan hutan kita. Di setiap kebijakan dan pilihan yang dipilih, pasti akan ada dampak yang diberikan secara positif ataupun negatif walaupun itu hanya secara tersirat saja. Sebagai pihak akademisi di dunia kehutanan, alangkah sudah sewajarnya kita melek akan dunia kehutanan kita sekarang ini. Sudah sejauh apa keadaan hutan kita, sampai kapan akan terus seperti itu, dan banyak lagi yang masih bias dipertanyakan. Mari kita sedikit membahas dan mengulas keadaan zamrud khatulistiwa yang hamper menjadi kenangan, untuk diwariskan kepada anak cucu kita.
        Kondisi Hutan. Deforestasi, yang terjadi terutama akibat konversi
hutan menjadi lahan pertanian kini terus berlanjut hingga mencapai tingkat mengkhawatirkan, yaitu sekitar 13 juta hektar per tahun berdasarkan datadari tahun 1990 – 2005. Deforestasi mengakibatkan lepasnya karbon yang awalnya tersimpan di dalampohon sebagai emisi karbondioksida. Hal ini berlangsung dengan cepat apabila pohon dibakardan berjalan lambat apabila kayu dan dedaunan mengalami pelapukan secara alami.
            Berikut adalah sejumlah pemicu utama deforestasi:
·         Pertanian berskala industry, semisal produksi kedelai dan kelapa sawit serta peternakan
·         Pembalakan industrial yang dipicu oleh permintaan internasional terhadap kayu
·         Tekanan kemiskinan dan populasi, saat penduduk mencari lahan garapan, bahan bakar kayu dan bahan bahanbangunan
·         Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, pertambangan dan bendungan.
            Setiap tahun, sekitar 1,7 juta ton karbon dilepaskan sebagai akibat dari perubahan pemanfaatan lahan,terutama dari deforestasi hutan tropis. Angka inimewakili sekitar 17% emisi global tahunan, lebihbesar daripada angka emisi yang ditimbulkan dari sektor transportasi dunia. Total wilayah hutan dunia adalah sekitar 4 milyar hektar, hampir 30% dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56% dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Sejumlah 1,2 milyar penduduk dunia diperkirakan menggantungkan penghidupan kepada hutan dan sekitar 2 milyar penduduk – sepertiga dari total populasi dunia – menggunakan bahan bakar biomasa, terutama kayu bakar untuk keperluan memasak dan menghangatkan rumah mereka.
Sumber: FAO, World Bank, IPCC
            Dimulai dengan bahasan REDD. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) atau yang bias disingkat dengan sebutan REDD merupakan  sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.
                Lalu adakah tantangan dan hambatan dalam menjalankan perjanjian ini??. Banyak hal yang harus ditelisik lebih dalam oleh pemerintah kita supaya kesepakatan ini benar-benar bermanfaat untuk kita, bukannya kita yang dimanfaatkan mereka. Ini yang menjadi salah satu gosip yang sedang beredear sekarang di dunia rimbawan. Ternyata ada suatu yang terselubung dari Negara-negara lain untuk hutan kita. Setelah kita kaji dengan beberapa pemahaman dan pandangan dari berbagai aspek yang berkesinambungan, ada empat tantangan yang dapat diidentifikasi :
• Teknologi penghitungan karbon
            Untuk memberikan nilai bagi sebidang lahan berhutan yang berpotensi menyimpan karbon, kita harus dapat menghitung secara tepat berapa banyak jumlah karbon yang tersimpan. Teknologi baru seperti citra satelit dan pembuatan model komputer akan memudahkan penghitungan cadangan karbon secara tepat dan cepat. Sistem yang transparan untuk melakukan penghitungan dan verifikasi pengurangan emisi saat ini sudah banyak tersedia. Pertanyaannya, terjangkau dan ekonomiskah teknologi ini?
• Pembayaran
            Bagaimana cara suatu negara dapat memperoleh pembayaran dan dalam bentuk apa pembayaran itu diberikan? Siapa yang nantinya akan menerima pembayaran untuk upaya melindungi kawasan hutan tertentu : Pemerintah nasional, masyarakat lokal sekitar hutan atau perusahaan kayu? Negara donor menghendaki agar pembayaran dapat bermanfaat bagi masyarakat yang kurang mampu
• Akuntabilitas
            Jika pembayaran REDD dilakukan, namun hutan tetap saja dirusak, apa yang akan terjadi? Akuntabilitas terkait dengan jaminan bahwa pembayaran karbon dapat mewujudkan perlindungan hutan berkelanjutan.
• Pendanaan
            Kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana untuk memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu mencari sistem pasar yang paling sesuai.
            Peneliti dan para pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negara-negara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda. Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi mereka masing-masing.
            Penduduk asli dan masyarakat tradisional memainkan peran penting dalam proses
ini. Diperlukan upaya yang lebih banyak lagi untuk menjamin bahwa lahan dan hak mereka terhadap sumberdaya diakui. Pejabat pemerintah, perusahaan swasta atau elite lokal dapat tergoda untuk mengambil alih pembayaran jasa karbon melalui system penilaian hutan yang baru ini dari masyarakat lokal apabila hak kepemilikan lahan masyarakat asli tidak dijamin. Perancang REDD harus sepenuhnya memperhatikan hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang sah sebelum mengambil tindakan untuk mengurangi emisi karbon berbasis hutan. Imbal balik antara pengurangan emisi karbon dan pengentasan kemiskinan mungkin diperlukan. Hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan harus diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
            Tapi apakah yang terjadi di lapangan sebenarnya?. Apakah semua tujuan masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim dapat selaras dengan hak masyarakat lokal sekitar. Apakah sudah berjalan semestinya? Apakah REDD ini sudah memberi keuntungan bagi mereka dan Negara ini?. Kita coba telisik faktanya dari sample kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan REDD. Pada penelitian ini, daerah yang dipilih  sebagai  contoh  rencana
demonstrasi  REDD  adalah  areal yang sudah disosialisasikan dan di inisiasi Flora dan Fauna Indonesia (FFI)  yang  berada  di  propinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang  dan  Kabupaten  Kapuas Hulu. Penelitian dilakukan dengan pengambilan titik-titik kampung dan menghimpun informasi sebanyak mungkin  dari  masyarakat  terkait sistem  pengelolaan  dan  inisiatif-inisiatif  yang  sedang  dan berkembang di masyarakat. Secara singkat  akan  dipaparkan  disini tentang  kondisi  masyarakat  di  2 kabupaten tersebut.

Kabupaten Ketapang
            Di  Kabupaten  Ketapang,  yang menjadi  wilayah  areal  alokasi
REDD berada di sekitar 5 desa di 3 kecamatan,  tetapi  pengamatan lakukan hanya di 4 desa yaitu desa Tanjung Pura dan desa Tempurukan yang  berada  di  wilayah administratif  kecamatan  Muara Pawan serta desa Sungai Puteri dan desa  Tanjung  Baik  Budi  yang
secara  administratif  berada  di kecamatan  Matan  Hilir  Utara. Lokasinya  dekat  dengan  ibu  kota kabupaten ketapang dengan jarak tempuh 20  s/d  30  Km  dari  kota ketapang. Pada  umumnya,  kehidupan disana sudah lebih modern karena berada  dijalur  akses  antar  kota.
Penduduk  di  dominasi  oleh pendatang dan mayoritas melayu, sumber penghasilan penduduk dari pertanian dan sebagian kecil adalah nelayan.  Masyarakat  disana  tidak mengenal kepemilikan  komunal termasuk  lahan,  pada  umumnya kepemilikan lahan sudah berstatus
kepemilikan pribadi bahkan sudah ada  yang  bersertifikat.  Sistem pengelolaan  lahan  menurut
masyarakat,  3  km  dariporos jalan kampung adalah yang dibagi  masyarakat  untuk  lahan
pertanian dan 3 - 5 km dari batas pertanian  adalah  areal pencadangan  pertanian
untuk  masa  depan, selebihnya  adalah  hutan negara  tetapi  bias sewaktu-waktu  dikelola/ dimanfaatkan masyarakat dengan persetujuan  pemda  setempat. Beda  dengan  desa  Sungai  Putri, mereka  memiliki  pencadangan sejauh 8 km.
            Pada  saat  ini,  untuk menggerakkan  perekonomian, masyarakat  mengandalkan pertanian terutama tanaman Karet dan kelapa. Menurut masyarakat, mereka  dulu  adalah  pekerja  kayu karena  lebih  menguntungkan, berhubung persediaan kayu sudah semakin habis akhirnya tidak punya pilihan  untuk  kembali mengembangkan  pertanian  dan
sebagian  kecil  menjadi  nelayan. Desa Tempurukan, Sungai Putri dan Tanjung Baik Budi sudah lebih maju dibandingkan dengan Desa Tanjung Pura walaupun menjadi salah satu
desa  tertua  di  wilayah  tersebut
           
            Kabupaten Kapuas Hulu Wilayah  alokasi  rencana demonstrasi  REDD  di  kabupaten Kapuas Hulu berada disekitar Danau Sentarum bagian Timur dan bagian Barat.  Studi  yang  dilakukan  difokuskan  di  wilayah  barat  danau sentarum yang terdiri dari 4 desa yaitu,  desa  Bajauandai  secara administratif berada di kecamatan Empanang  dan  desa  Janting, Pulaumajang,  serta  desa  Seriang secara  administratif  berada  di kecamatan  Badau.  Akses  untuk mencapai  desa-desa tersebut bias lewat jalan darat dan aliran sungai, jalan darat bisa ditempuh lewat Ibu kota  kabupaten  Kapuas  Hulu (Putussibau)  yang  kemudian
dilanjutkan  dengan  naik  bis  ke ibu kota  kecamatan  Badau. Sedangkan  jalur  sungai  bisa
ditembuh  dengan  naik  bis/travel Pontianak – Suhaid yang kemudian dilanjutkan dengan naik speedboat menelusuri  sungai  dan  danau sentarum. sesuai persediaan bahanbakar.  Sumber  pencaharian masyarakat pada umumnya adalah pertanian,  terutama  tengkawang dan  karet  tetapi  ada  juga  yang menjadi  nelayan  seperti  di  desa Pulaumajang  sebagian
masyarakatnya adalah nelayan di sekitar danau Sentarum dan aliran sungai  Kapuas.  Desa  Bajauandai, Seriang,  dan  Janting masyarakatnya  mayoritas  suku dayak terutama dayak Iban kecuali Pulaumajang  yang  penduduknya mayoritas melayu.
           
Analisis  Tumpang  Tindih
Pengelolaan Sumberdaya Alam
            Studi tataguna hutan dan lahan pada Kabupaten Ketapang tentang
penggunaan  ruang  dan permasalahan-permasalahan yang ada  dilapangan.  Studi  ini
dimaksudkan  untuk  memberikan informasi  tentang  kondisi penggunaan  kawasan  dengan
pengalokasian  lokasi  REDD  yang ternyata  sebagian  berada  pada kawasan yang sudah terbebani Hak seperti:konsesi  Perkebunan, dan kosesi HPH. Kondisi  terkini  yang  terpantau
dilapangan  menunjukan  bahwa terdapat  tumpang  tindih penggunaan  kawasan  yang
seharusnya  diselesaikan  terlebih dahulu  sebelum  diberikannya perijinan  baru  dalam  bentuk
apapun.  Selain  hal  tersebut, pengakuan  terhadap  kawasan masyarakat  adat  juga  seharusnya
dipertimbangkan  sebelum dilakukannya  deliniasi  kawasan untuk kepentingan tataguna lahan.
            Hasil  analisis  overlay  dari  ijin konsensi yang ada, baik yang aktif maupun  yang  sudah  tidak  aktif menunjukan bahwa pada kawasan yang  akan  di  peruntukan  sebagai areal  REDD,  ternyata  overlap dengan konsesi-konsensi yang telah ada  sebelumnya  seperti  konsesi sawit dan konsesi HPH. Dalam table dibawah  ini,  konsesi  HPH  tidak ditampilkan  karena  menurut
masyarakat,  sejak  tahun  2000-an perusahaan  HPH  diareal  mereka sudah tidak beroperasi lagi.
            Selain  tumpang  tindih  dengan kawasan  perkebuan  sawit, sebagian  kawasan  REDD  juga tumpang  tindih  dengan  kawasan adat  desa  Bajauandai,  hasil pemetaan partisipatif awal dengan menggunakan GPS seluas : 2107,2 Hektare.  Untuk  kawasan masyarakat  adat  lain  belum terpetakan  dalam  penelitian  ini, dikarenakan  keterbatasan  waktu dan sumber daya. Desa Bajauandai adalah  satu-satunya  desa  yang menolak  kehadiran  perkebunan sawit di daerah tersebut, desa-desa disebelahnya  sudah menandatangani  kontrak peminjaman  lahan  dengan  pihak perusahaan.
            Inilah fakta yang terjadi saat ini. Persepsi umum tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) – sebuah istilah yang pengucapannya saja sudah sulit – hanya sebagai salah satu dari banyak program PBB yang saat ini telah dilaksanakan di negara-negara lain.
            Menurut situs PBB, program REDD adalah “upaya untuk menciptakan insentif bagi negara-negara yang masih memiliki wilayah hutan yang baik, untuk melindungi, mengatur dengan baik, dan menggunakan dengan bijak sumber daya hutannya, yang pada akhirnya ikut berkontribusi terhadap upaya global penanggulangan perubahan iklim.”
            Inisiatif ini berupaya untuk menciptakan nilai finansial bagi karbon yang tersimpan pada hutan yang masih ada. Untuk jangka panjangnya, pembayaran bagi pengurangan dan penyerapan emisi yang telah diverifikasi, akan memberikan insentif kepada negara-negara REDD untuk dapat berinvestasi lebih jauh kepada pembangunan yang rendah karbon, sehat, dan hijau di kemudian hari.
            Dengan kata lain, REDD adalah sebuah sistem yang membuat negara-negara “kaya” mengimbangi emisi karbonnya dengan membayar kepada negara-negara ”miskin” untuk menjaga hutan mereka, karena hutan menyimpan sejumlah besar karbon di dalam pohon-pohon dan tanahnya. Apakah ini sudah berjalan sesuai dengan prosedurnya. Apakah harus mengorbankan tumpang tindih lahan dengan HPH dan perkebunan. Apakah harus mengorbankan yang menjadi krisis saat ini, lahan pangan contohnya. Akankah hutan-hutan Indonesia benar-benar dihargai, atau hanya permainan belaka supaya industri kehutanan Negara kita mati langkah, dan industri Negara maju semakin besar langkahnya. Sebagai mahasiswa, yang bernotabene sebagai garda perjuangan terdepan di elemen rakyat, mari kita bergerak! Cari tahu kebenaran demi sebuah kesejahteraan.



Jumat, 12 Agustus 2011

Dunia Harus Bekerja Sama Melindungi Hutan

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bekerja sama dengan 13 lembaga internasional lain membentuk Kerjasama Kolaboratif Kehutanan (Collaborative Partnership on Forests) guna mengatasi gangguan abiotik.
Gangguan abiotik atau “abiotic disturbances” adalah gangguan cuaca ekstrem dan bencana alam yang mengancam eksistensi hutan seperti badai, banjir, tanah longsor, tornado, gempa bumi dan letusan gunung berapi.
“Gangguan-ganguan ini diperkirakan akan meningkat intensitasnya, kuantitasnya maupun frekuensinya,” ujar Eduardo Rojas-Briales, Wakil Sekretaris Jenderal FAO bidang Kehutanan yang memimpin kerja sama tersebut.
“Untuk itu diperlukan pola pengelolaan hutan yang adaptif yang melipatkan semua pihak yang berkepentingan guna melindungi sumber daya hutan dunia. Kerja sama regional dan internasional juga dibutuhkan untuk mengatasi gangguan yang tidak mengenal batas geografis ini,” ujarnya.
Menurut laporan FAO berjudul “Abiotic disturbances and their influence on forest health”, sebanyak 4,000 kasus gangguan abiotik telah terjadi di seluruh dunia antara tahun 2000 dan 2009 dan baru-baru ini gangguan itu juga diakibatkan oleh ulah tangan manusia seperti pencemaran radioaktif dan kebocoran minyak.
Contoh gangguan abiotik dan dampaknya terhadap hutan meliputi: badai besar yang terjadi di Swedia pada 2005, yang menumbangkan dan merusak hutan seluas lebih dari 1.2 juta hektar dan Badai Tropis Sidr yang menghantam Bangladesh pada 2007 yang menyebabkan 9 juta orang menderita, merusak 1.5 juta rumah dan 4 juta pohon.
Contoh lain adalah gempa bumi dan ancaman tsunami di Chile bagian tengah dimana lebih dari 700 orang menjadi korban dan menyebabkan kerugian ekonomi negara sebesar US$30 miliar.
Guna menanggulangi ancaman-ancaman tersebut, diperlukan kerjasama antara lembaga pengelola hutan guna menerapkan kebijakan seperti mendiversifikasikan spesies tanaman, membangun pemecah angin (windbreaks) dan pola tanam yang beragam untuk melindungi hutan dari bencana, risiko dan dampak dari kejadian-kejadian ekstrem.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dijadwalkan akan mengeluarkan laporan khusus tentang cara mengurangi risiko bencana dan kondisi-kondisi ekstrem pada November guna membantu dunia mengatasi perubahan iklim.
Kerja sama ini juga menyeru kepada seluruh pengelola kehutanan dunia untuk menciptakan strategi guna mengatasi kekeringan pada masa datang dengan cara mengurangi kepadatan jarak tanam yangh akan mempermudah tanaman memperoleh air.
Cara lain adalah dengan memilih tanaman yang tahan terhadap kondisi kering dan beralih dari pola tanam monokultur (satu jenis tanaman) ke pola tanam yang lebih terdiversifikasi guna menciptakan hutan yang memiliki spesies yang kaya dan beragam.
Keterangan lebih lanjut kunjungi: UN News Centre

Sabtu, 11 September 2010

Senja di khalifahmu

Dalam keheningan fatamorgana
Dunia berubah dalam satu daksa
Berpacu, tenggelam dalam harapan
menarik sebuah kepastian
inilah aku...
Yang menjadi bukti dari sebuah saksi
saksi metamorphosis kehidupan ini
Di dalam hingar bingar romantika perjuangan
ku terus berjalan,
melawan waktu, tetapi terus mengarus
ku terus melangkah
tapi terengah menjaga arah
Mengalun
Tertegun
Dalam keramaian jiwa yang sepi
Menjaga mimpi dan arti
Hidupku ini.......